Senin, 25 Januari 2016

REVITALISASI NILAI POLITIS DAN EDUKATIF SENI TRADISI KETOPRAK BERBASIS KARAKTER BANYUMAS




Ketoprak Sebagai Seni Tradisi

Kesenian tradisional atau seni tradisi bisa didefinisikan sebagai bentuk kesenian yang lahir dan tumbuh dalam konteks wilayah tertentu yang diteruskan dari satu periode ke periode berikutnya. Setiap wilayah di Nusantara memiliki seni tradisinya masing-masing, baik yang lahir sejak periode pra kolonial maupun di era kolonial serta paska kolonial.

Ketoprak, merupakan salah satu seni tradisi yang berkembang di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dan berkategori teater rakyat yang memiliki karakteristik narasi bertemakan sejarah klasik (raja-raja), legenda (tokoh maupun asal usul sebuah wilayah), dongeng dan dimainkan oleh sejumlah pemain dengan menggunakan bahasa Jawa mulai dari ngoko hingga kromo inggil dengan diselingi canda dan sindiran. Istilah ketoprak sendiri diyakini berasal dari bunyi alat musik lesung yang menghasilkan bunyi “dung”, “dung”, “prak”, “prak”. 

Minggu, 17 Januari 2016

NEGARA TANPA SEJARAWAN?






Lazim dalam percakapan umum terlontar nada merendahkan jika seorang siswa SMU hendak melanjutkan pada studi sejarah di perguruan tinggi dengan mengatakan, “mau kerja apa jika ambil ilmu sejarah?” Bahkan tidak jarang beberapa pendidik melontarkan kata dan kalimat yang melemahkan hasrat dan keinginan seorang siswa mendalami dan mempelajari ilmu sejarah. Mengapa ilmu sejarah kurang diapresiasi baik oleh segolongan pendidik maupun peserta didik? Alasan klasik yang kerap dikatakan biasanya, “ah, ilmu sejarah membosankan karena harus menghafal kisah dan tahun peristiwa bersejarah”. 

Saya tidak akan memfokuskan diri untuk menjawab pertanyaan, “mau kerja apa jika ambil ilmu sejarah?” namun memfokuskan memberikan penjelasan “apa yang terjadi jika sebuah negara tidak memiliki sejarawan yang menjaga ingatan masa lalu?” Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya tidak akan memulai dengan memberikan penjelasan-penjelasan normatif namun dengan membawa para pembaca untuk melakukan permenungan kritis. Apa yang terjadi jika Prapanca tidak menuliskan Kitab Negarakretagama dan apa yang terjadi jika Empu Tantular tidak menuliskan Kitab Kakawin Sutasoma? Kitab Negarakretagama berisikan 98 pupuh dan berkat kitab ini kita bisa mengetahui banyak perihal kebesaran Majapahit mulai dari sistem politik, sistem sosial serta sistem agama di era kebesaran raja Hayamwuruk. Bahkan menurut Prof. Slamet Mulayana, “Berkat uraiannya, kita dapat sekadar mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Kerajaan Majapahit pada zaman pemerintahan Raja Rajasanagara sampai tahun 1365. Untuk menggambarkan betapa luasnya Majapahit, ia menjumlah secara sistematis negara-negara bawahan dalam kelompok-kelompok; disajikan dalam pupuh 13 dan 14” (Tafsir Sejarah Negara Kretagama, 2006:334). Kitab Sutasoma merupakan kisah epik bernafas agama Budha dalam dalam pupuh 139:5 tercantum kalimat, “Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda), Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen (Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?), Mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal (Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal), Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua)”

Selasa, 05 Januari 2016

TIDAK ADA PERADABAN KABALISTIK DI KEBUMEN!


Tanggapan Terhadap Artikel, “Temuan Peradaban Kabalistik di Kebumen”
 
Saat membaca judul dan memahami isi artikel Sdr. Ravie Ananda, saya benar-benar diherankan dengan sebuah istilah yang aneh dan tidak pernah ada dalam literatur manapun yaitu “peradaban Kabalistik di Kebumen”. Mengapa saya katakan aneh dan tidak pernah ada dalam literatur manapun? Pertama, penggunaan istilah peradaban yang dihubungkan dengan nama Kebumen terlalu berlebihan karena tidak pernah ada peradaban Kebumen selain peradaban Jawa dimana Kebumen adalah bagian dari Jawa.