Minggu, 17 Januari 2016

NEGARA TANPA SEJARAWAN?






Lazim dalam percakapan umum terlontar nada merendahkan jika seorang siswa SMU hendak melanjutkan pada studi sejarah di perguruan tinggi dengan mengatakan, “mau kerja apa jika ambil ilmu sejarah?” Bahkan tidak jarang beberapa pendidik melontarkan kata dan kalimat yang melemahkan hasrat dan keinginan seorang siswa mendalami dan mempelajari ilmu sejarah. Mengapa ilmu sejarah kurang diapresiasi baik oleh segolongan pendidik maupun peserta didik? Alasan klasik yang kerap dikatakan biasanya, “ah, ilmu sejarah membosankan karena harus menghafal kisah dan tahun peristiwa bersejarah”. 

Saya tidak akan memfokuskan diri untuk menjawab pertanyaan, “mau kerja apa jika ambil ilmu sejarah?” namun memfokuskan memberikan penjelasan “apa yang terjadi jika sebuah negara tidak memiliki sejarawan yang menjaga ingatan masa lalu?” Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya tidak akan memulai dengan memberikan penjelasan-penjelasan normatif namun dengan membawa para pembaca untuk melakukan permenungan kritis. Apa yang terjadi jika Prapanca tidak menuliskan Kitab Negarakretagama dan apa yang terjadi jika Empu Tantular tidak menuliskan Kitab Kakawin Sutasoma? Kitab Negarakretagama berisikan 98 pupuh dan berkat kitab ini kita bisa mengetahui banyak perihal kebesaran Majapahit mulai dari sistem politik, sistem sosial serta sistem agama di era kebesaran raja Hayamwuruk. Bahkan menurut Prof. Slamet Mulayana, “Berkat uraiannya, kita dapat sekadar mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Kerajaan Majapahit pada zaman pemerintahan Raja Rajasanagara sampai tahun 1365. Untuk menggambarkan betapa luasnya Majapahit, ia menjumlah secara sistematis negara-negara bawahan dalam kelompok-kelompok; disajikan dalam pupuh 13 dan 14” (Tafsir Sejarah Negara Kretagama, 2006:334). Kitab Sutasoma merupakan kisah epik bernafas agama Budha dalam dalam pupuh 139:5 tercantum kalimat, “Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda), Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen (Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?), Mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal (Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal), Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua)”


Apa yang terjadi jika naskah-naskah kuno bersejarah itu tidak terpelihara dengan baik di tangan para ilmuwan sejarah? Jika naskah-naskah tersebut tidak pernah ada, maka Bung Karno tidak akan mungkin mengutip jejak kebesaran Singasari, Majapahit, Sriwijaya, saat berpidato, “Kerajaan Majapahit memperoleh kemenangan gilang-gemilang setelah digembleng penderitaan dalam peperangan-peperangan melawan Kubilai Khan. Sultan Agung Hanyokrokusumo membikin negara Mataram menjadi negara yang kuat setelah mengalami cobaan-cobaan dalam perang Senopati”. Tidak pula Bung Karno akan mampu “Dengan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan Pancasila, kita prinsipil dan dengan perbuatan, berjuang terus melawan kolonialisme dan imperialisme di mana saja” jika tidak membaca kakawin Sutasoma.

Dari pemaparan di atas kita bisa menilai manfaat besar penulisan sejarah dan ilmu sejarah karena tanpa pengetahuan sejarah, maka Bung Karno tidak mampu memompa semangat bangsa Indonesia dengan mengajaknya berkaca pada kebesaran masa silam sebelum kolonialisme bercokol dan berkuasa di Nusantara. Apa jadinya jika para pemimpin kemerdekaan dan pendiri bangsa tidak mengetahui sejarah kebesaran masa silam negaranya? Apa jadinya sebuah negara tanpa peran para sejarawannnya yang memelihara ingatan kebesaran masa lalu dan peristiwa-peristiwa penting sebagai pijakkan untuk melakukan strategi masa depan? A.L. Rowse menyalahkan para pejabat Inggris di era Perang Dunia II akibat pengabaian mereka terhadap sejarah ekspansionis Jerman yang dapat dilacak sebelumnya melalui jejak sejarah ekspansionis yang telah dilakukan pendahulunya yaitu Frederick Yang Agung dan Otto von Bismarck, sehingga mereka gagal mengantisipasi langkah Hitler yang berakibat pada kehancuran Eropa, dengan mengatakan: “Bangsa Inggris mendapatkan banyak peringatan tentang apa yang akan terjadi di dalam buku. Siapapun yang telah mempelajarinya pasti mengerti apa yang dapat diharapkan. Ada banyak literatur sejarah tentang Jerman modern sehingga tidak ada alasan untuk tidak tahu. Akan tetapi, hal yang paling memuakkan pada tahun-tahun sebelum perang terjadi adalah tidak ada satu buku pun yang dibaca oleh kelas atas, orang-orang yang bertanggungjawab atas urusan masyarakat. Mereka seharusnya tahu tentang sejarah Eropa modern” (Apa Guna Sejarah, 2014:7). Sejarah, ternyata bukan hanya kolektifitas peristiwa yang bersifat periodik dan susunan tanggal dan tahun yang sudah berlalu, namun sejarah merupakan sebuah peristiwa yang dapat menjadi pelajaran di masa kini. Dengan kata lain, sejarah selalu bersifat aktual dan reflektif. Sejarah ternyata berfungsi memberikan dorongan kolektif untuk mencapai kemerdekaan dan kejayaan berbasis kejayaan masa silam, sebagaimana telah dilakukan para pendiri bangsa termasuk Bung Karno. Dalam konteks masa kini, cabang-cabang ilmu sosial dipastikan memerlukan peranan ilmu sejarah sebagaimana dikatakan A.L. Rowse, “Pengetahuan tentang sejarah diperlukan bagi jurusan yang lebih mengarah pada masyarakat. Itulah mengapa sejarah penting, terutama pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan semakin tinggi pendidikannya maka semakin penting pula sejarah” (Ibid., hal 16).

Jika ilmu sejarah memiliki peranan yang penting namun mengapa beberapa pendidik atau beberapa siswa didik masih memiliki pandangan yang kurang memberi apresiasi terhadap ilmu sejarah? Ada beberapa faktor penyebab mengenai masih mengakarnya sikap-sikap stigmatif tersebut. Pertama, cara penyampaian materi sejarah oleh beberapa pendidik yang tidak menarik. Pelajaran sejarah lebih banyak menekankan pada menghafal peristiwa dan tahun peristiwa namun tidak menaruh perhatian untuk menganalisis mengapa sebuah peristiwa terjadi dan berefleksi terhadap sebuah peristiwa. Dengan metodologi demikian justru menjauhkan siswa didik untuk berinteraksi dengan masa silam dan menilai dengan kritis peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu. Kedua, minimnya jelajah pustaka terhadap sejumlah peristiwa bersejarah. Sejumlah pendidik nampaknya telah berpuas diri dengan buku panduan ajar dan tinggal mengulang apa yang tertulis atau pengetahuan sejarah yang selama ini diketahuinya, seolah-olah sejarah telah selesai dan tidak terbuka untuk ditinjau ulang oleh berbagai perkembangan penemuan data sejarah. Dengan jelajah pustaka, peserta didik dapat diajak untuk mencermati salah satu peristiwa sejarah dan diminta untuk membaca beberapa literatur yang membahas peristiwa sejarah tersebut. Dengan secara tidak langsung, penggunaan jelajah pustaka mendorong para siswa didik melakukan eksplorasi sejarah. Kedua hal di ataslah yang menyebabkan terciptanya gambaran mental yang keliru mengenai ilmu sejarah sebagai ilmu yang membosankan dikarenakan rendahnya kreatifitas dan passion (hasrat) dalam menyampaikan ilmu sejarah.

Akhir-akhir ini beberapa sineas muda di Indonesia mulai menggarap film bertemakan sejarah dan ketokohan sosok bersejarah seperti Sukarno, Tjokroaminoto, Soe Hok Gie, Sudirman dll. Para pendidik dapat menjadikan film-film ini sebagai momentum memperbarui metodologi mengajar dan mengembalikan marwah ilmu sejarah dengan mengajak para siswa menonton dan mendiskusikan isi film tersebut. Menonton film belaka tanpa mendiskusikannya tidak ubahnya seperti menonton tayangan film di layar lebar lalu pulang tanpa sebuah refleksi dari apa yang telah ditontonnya. Dengan mendiskusikan film bertema sejarah, peserta didik dibentuk untuk menganalisis sebuah peristiwa bersejarah, berani mempertanyakan manipulasi-manipulasi dalam sejarah sehingga membentuk pola pikir dan perilaku kritis terhadap sejarah bangsanya.

Penayangan film Jenderal Sudirman di beberapa sekolah di Kebumen (Kebumen Ekspres, 12 Januari 2016) layak diapresiasi untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme kebangsaan terhadap para peserta didik. Namun akan lebih baik lagi jika sekolah-sekolah dan khususnya para pendidik di bidang sejarah menayangkan tokoh-tokoh intelektual yang tidak hanya memanggul senjata namun menggunakan kekuatan pena dan kata-katanya untuk melawan kolonialisme seperti film Sukarno dan Tjokroaminoto. Film berjudul Gie yang mengisahkan intelektual muda berlatar belakang etnis Tionghoa yang mati muda bernama Soe Hok Gie, dapat memberi wawasan peserta didik mengenai keterlibatan multi etnis dalam gerakan-gerakan sosial di negeri ini demi membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Tugas para pendidik ilmu sejarah, sekalipun mungkin dia bukan berprofesi sebagai sejarawan formal, mengemban tugas yang sama dengan para sejarawan yang bekerja di lembaga-lembaga yang berkaitan dengan kesejarahan yaitu menjaga ingatan sejarah dan mengaktualisasikan sejarah dalam konteks kekinian serta mengontrol kekuasaan, sebagaimana dikatakan DR. Asvi Warman, sejarawan LIPI, “Seorang pemimpin dari negeri yang dulu dijuluki sebagai tirai besi, Krouchtchev mengakui bahwa sejarawan adalah ‘satu kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa’. Dengan dokumen primer yang dimilikinya, sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa sosial politik yang terjadi jauh pada masa lampau tanpa bisa dibantah oleh pemerintah yang berkuasa” (Melawan Lupa, Menepis Stigma, Setelah Peristiwa 1965, 2015:3).

Jika sebuah negara membutuhkan sejarawan sebagai penjaga ingatan peristiwa masa lampau, maka ilmu sejarah itu memiliki tempat yang penting setara dengan bidang-bidang keilmuan lainnya. Dengan demikian pertanyaan,“mau kerja apa jika ambil ilmu sejarah?” sebagaimana diulas sebelumnya sudah dapat terjawab karena negara ini membutuhkan para sejarawan yang dapat dipekerjakan di lembaga tertentu selain lembaga pendidikan.

1 komentar: